Mimpi :: 02.00 dini hari :: Ia yang dirindui. Mengisi mimpi, tanpa basa-basi..
Masih kau yang berurai rambut lurus dan bertubuh sekokoh pinus. Masih juga kau, yang bertatap sembilu dan sikap sedingin salju. Waktu kedua jarum jam tepat bertemu pada detik yang satu. Selalu datang tanpa mengetuk pintu dulu. Di ruang ini, hanya kau dan aku. Tanpa kata, selain mata yang membahasa. Namun sungguh, itu terasa lebih luluh. Mengusap dan menghisap seluruh perdebatan melelahkan barusan.
Mungkin memang musti. Kau dan aku tak lagi bermain pada kata-kata melimpah, hingga ego semakin terasah. Sebab pada argumen, kasih dan sayang tersantap lahap, selayak buku yang digilai rayap di tempat lembab. Tapi kau dan aku pada dhuafa kata-kata. Akan meraba yang tampak di mata saja. Sebab di dalamnya mata, segala kaku di kalimat dan umpat-umpat, leleh menjelma bening dan butir.
Butir yang membawa kita pada ingatan pertama kali pertemuan, di kedai kopi suatu pagi. Butir-butir air hujan menyisipkan kesempatan kita saling bertatapan, lalu berlanjut menuju rangkaian ketakjuban dan kerinduan.
Aah… Sungguh. Kenapa pun Tuhan menggariskan sifat penuh keraguan..?? Hingga padamu, juga kutemukan beberapa kenyataan, menjebak untuk meragukan. Walau sebagian tampak tak beralasan. Ya… mungkin hanya serangkaian kecemburuan tanpa kesadaran.
Tapi, taukah kau..?? Yang dibutuhkan hanya sebuah dekapan, tepat di belakang rerusuk. Tempat yang konon katanya ada aku yang menggenapinya di tubuhmu. Ya, aku yang hanya belulang rusukmu. Berdiam memberi sesembahan kesempatan, untuk kau lingkarkan dua lengan perlindungan, disertai bisikan, bahwa kau memang masih kau, “kekasihku yang mencinta dengan sederhana”
*****************************************************
KaLbu :: 02.00 dini hari :: Kamu yang saya rindu. Memburu kaLbu, tanpa ragu-ragu..
Kucing itu. Membawa bayangmu, yang berlekuk mata bagai kucing betina belang tiga, magis dan menelan semua kata sampai habis. Dalam kedirian saya, terpaksa tatap sembilu dan sikap dingin salju yang disajikan padamu. Karena saya tak mau, ditelanjangi jiwa seluruh, hanya oleh sepasang mata.
Atau mungkin memang musti. Kamu dan saya hanya bermain makna mata. Tak lagi bermain kata-kata melimpah, hingga ego semakin terasah. Sebab pada argumen, kasih dan sayang tersantap lahap, selayak buku yang digilai rayap di tempat lembab. Tapi kamu dan saya pada dhuafa kata-kata. Akan meraba yang tampak di mata saja. Sebab di dalamnya mata, segala kaku di kalimat dan umpat-umpat, leleh menjelma bening dan butir.
Butir yang membawa kita pada ingatan pertama kali pertemuan, di kedai kopi suatu pagi. Butir-butir air hujan menyisipkan kesempatan kita saling bertatapan, lalu berlanjut menuju rangkaian ketakjuban dan kerinduan.
Sialnya, kamu tak lupa juga cara menyelip pandangan penuh selidik di bening dua bola yang indah itu..!! Hingga saya tak ada daya, walau gengsi berapi-api. Ya… mungkin ini gerbong-gerbong keinginan yang belum menemukan jawaban mendamaikan.
Ahh… Sungguh.. Padahal saya hanya ingin mendesirkan kalimat tanpa keraguan dibalik tubuh dan harummu yang menawan. Jangan terlalu menanamkan kecemburuan. Sebab saya terlalu naïf untuk tak mengakui, semua indah tentangmu, dan caramu mengajari saya, bagaimana mencinta dengan sederhana.
*****************************************************
Dunia :: 06.00 : Pagi hari. Nyanyi burung punai yang mengisi
Saya tak menghitung, kali keberapa tetes kopi diteguk. Masih terjaga memang. Tapi bukan karena kopi rasanya. Kopi ini terlalu bersahabat untuk menjadi sebab. Resah ini, mungkin karenamu, yang menari di kalbu tanpa ragu-ragu. Bahkan berintro pun tidak…!! Rasanya.. ini ektase rindu. Yang akhirnya membantu gerak jemari diatas tuts handphone yang terlalu sabar digenggam sedari tadi. Dalam berani tak gengsi, jari saya menulis : “Apa kamu tak lelah selalu melintas-lintas di malamku..??”
Dunia :: 06.05 : Pagi hari. Mentari dan embun yang mengisi
Aku terkesiap dari lelap. Hangat hawa terasa. Bukan karena udara atau cuaca. Pagi ini terlalu lembut untuk dituding. Hangat ini, mungkin karenamu, yang hadir di mimpi tanpa basa-basi. Bahkan pun tidak permisi …!! Rasanya.. ini hangat rindu. Yang menuntun tanganku meraba celah antara bantal dan kasur, sampai handphone ditemukan.
Ketik balas smsku padamu : “Kenapa kau selalu tak mengetuk pintu waktu datang di mimpiku..??"
*****************************************************
Dunia :: 06.10 : Mentari, embun, nyanyi burung punai bertemu di pagi hari.
“Sepertinya… ehmmm… Mungkin… Aku..." katanya merajuk
“ehhmmm… iya… Sepertinya.. Aku juga..” jawabnya, sederhana
******************************************************
Jarak nyata tak bisa mematikan rasa. Dan cinta tak memerlukan materi bahasa.
Hingga menyisa Lengkung senyum dan binar mata, sama merona, di dua tempat berbeda. Hingga pada sebab yang tak musti semua diketahui, kalimat pun tak harus kuras sampai tuntas. Biarkan itu mengendap jadi misteri, yang bukan teka-teki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar